Jumat, 01 November 2013

Teologi Lokal versus Teologi Feminis?

Teologi Lokal versus Teologi Feminis?

Culture regime merupakan sebuah istilah yang sangat tepat untuk menggambarkan situasi budaya dan sastra di Indonesia. Dalam monografinya Helen Creese menyelidiki dan mengeksplorasi kitab-kitab kakawin yang pernah ditulis oleh pujangga-pujangga di Jawa dan di Bali, dan hasil dari eksplorasinya ini dia menyatakan, bahwa "Dalam penggambaran tentang wanita, kakawin menunjukkan pandangan dan peran patriarkal yang secara eksklusif berkenaan dengan kepuasan fisikalitas dan seksualitas perempuan. Wanita terlihat pasif dan rapuh, patuh dan penurut. Dengan memingit wanita, kontrol laki-laki terhadap wanita terjamin. ... Pada saat yang sama representasi kakawin mengagumi dan menekan wanita, memarjinalisasikan bahkan pada saat mereka sepakat menghormatinya." (Creese, 2012:270-271). Dalam Kakawin, perempuan hampir selalu ditempatkan sebagai objekt sastra. Dia ditempatkan sebagai objek yang ditekan di satu sisi, tapi dia juga sekaligus sebagai objek yang dipuja, dalam arti sebagai objek erotis kaum laki-laki, yang dipuja kecantikannya, yang dihormati sebagai ibu yang melahirkan anak-anaknya, sebagai bunga yang harus diproteksi sehingga menjadi over-protected. Yang pasti tetap menjadi objek. Ini merupakan konteks kita di Indonesia. Pola pandang seperti para penulis kakawin ini toh masih tetap dipunyai oleh pola pandang masyarakat masa kini. Dengan membangun teologi yang berdasarkan konteksnya (teologia in loco), maka hal ini akan berbenturan dengan pembangunan teologi feminis, yang menghargai perempuan. Untuk itulah benar yang dikatakan Rocky Gerung dalam makalahnya yang berjudul "Feminisme versus Kearifan Lokal?" yang diterbitkan pada Jurnal Perempuan 57 tahun 2008. Seringkali banyak teolog berkata, bahwa kita harus memelihara warisan budaya kita, harus memelihara kearifan lokal. Hal ini tentu sangat baik dan memang harus kita lakukan. Tetapi terhadap masalah feminisme ini, kita akan berbenturan. Untuk itu tidak jarang di dalam membangun teologi feminisme, maka orang akan membuat sebuah dekonstruksi, sehingga akan muncul dekonstruksi yang berlebihan. Apakah benar, bahwa kita tidak bisa membangun teologi feminisme yang kontekstual? Dalam penelitian saya yang masih dalam taraf hipotesa atau asumsi, di tengah lautan karya sastra Indonesia kuno yang sangat berbau patriarki, saya mendapatkan sebuah kitab yang menggunakan bahasa yang sangat feminis. Kitab tersebut adalah Kitab Calon-Arang. Pada tahun 1920an teks ini telah ditransliterasi dan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Prof. R. Ng. Poerbatjaraka yang diterbitkan dalam Bijdragen voor Taal-, Land- en Volkenkunde. Mungkin beberapa teks feminis lagi yang bisa kita dapatkan. Kembali ke teks Calon Arang. Teks ini memiliki similaritas dengan teks Kakawin Arjunawiwaha. Similaritasnya terletak pada latarbelakang sejarah dan tokoh-tokohnya, yaitu memiliki latar sejarah pada zaman Erlangga (atau Airlangga). namun demikian perbedaan semantis yang mencolok adalah jika Kakawin Arjunawiwaha menggunakan bahasa yang sangat patriarki, sebaliknya Calon Arang menggunakan bahasa yang sangat feminis. Bagaimana itu bisa terjadi pada zaman itu? Inilah yang menjadi pertanyaan terbuka.

1 komentar:

  1. Daftar Situs Judi Slot Online Terpercaya 2021 - TheITanium
    Daftar situs judi slot online terpercaya ion titanium on brassy hair 2021 · Casino Online Indonesia · polished titanium Casino Online Indonesia · Slot Online Indonesia · Slot titanium max trimmer Online Indonesia · Slot babyliss pro nano titanium curling iron Online Indonesia. titanium pots and pans

    BalasHapus